Oleh : Nuim Hidayat
Pada bulan Juli 2009 lalu, saya berkunjung
ke Malaysia. Bukan main gembiranya ketika di sana saya menemukan buku Raja Ali
Haji, Bustan al Katibin. Buku ini saya dapatkan dari
Prof Wan Daud dari ruang kerjanya di Universiti Kebangsaan Malaysia. Buku ini
aslinya dalam bahasa Arab Melayu dan kemudian dialihbahasakan dalam bahasa
Melayu oleh Prof Hashim bin Musa dari Universiti Malaya. Menurut pengakuannya,
ia mendapat naskah asli buku ini dari Universitas Leiden.
Buku tentang bahasa Melayu ini
ditulis tahun 1850M. Menurut Prof. Hashim kitab ini merupakan tulisan paling awal tentang bahasa Melayu yang disusun oleh orang
Melayu. Delapan tahun kemudian (1858 M), Raja Ali Haji juga menulis tentang
bahasa Melayu, yaitu Pengetahuan Bahasa: Kamus Loghat Melayu
Johor, Pahang, Riau dan Lingga. “Sesungguhnya karya-karya
tentang bahasa Melayu oleh Raja Ali Haji ini merupakan warisan yang amat
berharga yang menjadi penyambung kepada tradisi pengajian bahasa dalam Islam
yang bermula sejak zaman awal Islam lagi,”terang Prof Hashim yang memberi
pengantar dan memperkenalkan kitab ini. (Bustan al Katibin, Raja
Ali Haji, 2005:xiii).
Dalam Islam, memang ada keterkaitan
yang dalam antara pemahaman bahasa atau ilmu dengan pentauhidan kepada Allah.
“Dalam Islam, pengajian bahasa khususnya bahasa Arab dan bahasa penganut Islam
yang lain, merupakan ilmu alat untuk mencapai makrifat yaitu mengenali Allah
dan seluruh kewujudan, memperteguh keimanan dan ketakwaan, dan menyemai adab
kesopanan yang mulia, yang mengandungi antara lain ilmu-imu nahwu (sintaksis),
sharaf (morfologi), qawaid (bahasa), mantiq (logika), balaghah (retorik),
istidlal (pendalilan), kalam (penghujahan) dan sebagainya,”ungkap Prof. Hashim.
Dalam kitabnya Bustanul Katibin ini,
Raja Ali Haji memulai dengan Muqaddimah dengan judul Fi Fadhilati al
ilmu wal aqlu (Kelebihan Ilmu dan Akal). Pertamanya. ia
mengutip hadits Rasulullah yang terkenal: “Barangsiapa dikehendaki Allah
kebaikan, maka ia diberi pemahaman kepada ilmu agama (ad diin).” Kemudian Ali
Haji menyatakan: “Adapun kelebihan akal itu seperti kata hukama husnu
haliah, artinya akal itu sebaik-baik perhiasan. Dan lagi kata hukama al
fadhlu bil aqli wal adabu la bil ahli wan nasabi, artinya kelebihan itu (pada) akal dan adab dan tiada (bukan) sebab
bangsa dan asal.” Maka, terangnya, “Jikalau beberapa pun bangsa
jika tiada ilmu dan akal dan adab, ke bawah juga jatuhnya, yakni kehinaan juga
diperolehnya.”
Di sini, Ali Haji mengaitkan
hubungan yang erat antara ilmu, akal dan adab. Artinya agar akal dan adab seseorang, masyarakat atau bangsa
menjadi baik (menjadi unggul), maka mesti diberi ilmu yang benar. Lebih tegas
lagi, Ali Haji menyatakan : “Man sa’a adabahu dha’an nasbahu, artinya barangsiapa jahat adabnya sia-sialah bangsanya.”
Selain itu, ulama, penasihat raja
dan sastrawan dari Riau ini juga menjelaskan tentang tanda-tanda orang berakal. Ia mengungkapkan : ”Dan lagi kata Hukama, bermula itu akal basra’atul
fahm, artinya, tanda berakal segera faham dantahratul aqlu
husnul ikhtiar wa dalil li tahu sahbatul ikhtiara, artinya buah akal itu membaikkan ikhtiar, dan tandanya bersahabat
dengan orang yang pilihan daripada orang yang baik-baik.”
Kemudian, Ali Haji menunjukkan
hubungan ilmu dengan kalam (kalimat/bahasa). ”Adapun kelebihan ilmu wal kalam
amat besar sehingganya mengatan setengah hukama, segala pekerjaan pedang bisa
diperbuat dengan qalam. Adapun pekerjaan-pekerjaan qalam tidak bisa diperbuat dengan
pedang, maka ini ibarat yang terlebih sangat nyatanya. Dan beberapa ribu dan laksa pedang yang sudah terhunus, dengan seguris qalam jadi tersarung, terkadang jadi tertangkap dan terikat dengan
pedang sekali.”
Ali Haji menerangkan, apabila
seseorang sudah mengetahui kelebihan ilmu, maka ia harus memelihara adab dan
syaratnya. ”Adapun syaratnya itu, yaitu antara nafsumu dengan dirimu sendiri.
Adapun adabnya itu antaramu dan gurumu.” Lebih lanjut ia menjelaskan lima
syarat keberhasilan menuntut ilmu: ”Pertama, al himmat, artinya bersungguh-sungguh hal yang kuat pada hati pada
berkehendak mendapat akan ilmu itu. Kedua, al mudarasah, artinya kuat mendaras (mengulang), meskipun sudah dapat akan mafhumnya, hendaklah
didaras juga mana-mana ilmu yang sudah dibaca itu. Ketiga, muzakarah, artinya menyebut-nyebut ilmu itu pada yang bersama-sama menuntut
mengaji sertanya, barangkali sahabat kita itu lupa atau kita sendiri pun lupa
juga. Maka tatkala dibawa beringat-ingatan itu menjadi menjadi bertambah-tambah
ingatnya. Kelima, mutala’ah, artinya menilik pada ilmu yang
sudah kita kaji itu serta memikirkan maknanya dan memikirkan mafhumnya, maka
jika dapat maka yaitu yang dituntut. Dan lagi
tersangkut pada fikiran kita itu sama ada pada maknanya atau mafhumnya ingatkanlah
baik-baik pada tentang yang kita tersangkut itu. Apabila berjumpa dengan
sahabat kita yang sama pengajian dengan kita itu, maka kita tanyalah
kepadanya. Maka jika sahabat kita tiada
juga bisa menguraikan barang yang kita tersangkut, maka kembalilah pada guru
kita bertanyakan yang kita musykilkan itu, insya Allah Taala hasillah maksud
kita adanya.”
Menurut Prof. Syed Mohammad Naquib
al Attas yang kemudian diikuti oleh Prof. Braginsky (1989,1993), pekerjaan
kalam –istilah yang merujuk pada kegiatan penulisan—adalah tonggak kebudayaan
Melayu, yang mengakar umbi selepas kedatangan Islam ke rantau ini. Menurut beliau, di bawah pengaruh Islam, orang Melayu mula sadar
tentang kewujudan sastera sebagai satu entiti yang utuh, yang menjadi
sebahagian integral hidup mereka (lihat Prof. Ungku Maemunah
Mohd Tohir, Kritikan Sastera Melayu, Antara Cerita dan Ilmu, 2007).
Ulama terkemuka Melayu lainnya,
Syekh Ahmad al Fathani (1856-1908 dari Pattani) juga pernah mengirim surat
kepada Sultan Zainal Abidin, Sultan Trengganu, agar sultan-sultan berperan
aktif dalam menyebarkan ilmu di masyarakat. Ia menulis: ”Aku berharap semoga
bangsa Melayu dapat maju dengan pimpinannya dan dapat mencapai kemuncak
peradaban kesejahteraan. Aku berharap semoga baginda berkenan menyebarkan ilmu,
makrifat dan petunjuk. Lalu baginda menjadi kegembiraan dan rakyat mendapat
kejayaan. Agar mereka dapat membukukan bahasa Melayu. Karena aku bimbang ia
akan hilang atau dirusak oleh perubahan yang berlaku dari masa ke masa. Begitu
pula hendaklah mereka mengarang sejarah Melayu yang meliputi segala perihal
orang Melayu. Kalau tidak, mereka nanti akan hilang dalam lipatan sejarah.
Wahai para cerdik pandai. Hidupkanlah sejarah bangsamu. Dengan itu kamu akan
disebut dalam sejarah dan namamu akan harum sepanjang masa. (lihat plakat
Khazanah Fathaniyah oleh Wan Mohd. Shaghir Abdullah).
Bahasa dan Tauhid
Raja Ali Haji sebagai peletak dasar bahasa
Melayu ini patut untuk direnungkan. Yang membedakan antara Raja Ali Haji dengan
tokoh-tokoh bahasa Melayu/Indonesia sekarang adalah terikat atau lepasnya
belajar bahasa dengan keberadaan pencipta (sang Khaliq yang mencipta mulut dan
otak manusia). Bila Ali Haji sangat menekankan hubungan yang erat antara
bahasa, akal dengan pengakuan adanya Allah SWT, maka saat ini pelajaran bahasa
cenderung bersifat sekuler. Yakni, seperti yang diungkapkan Gorrys Keraf,
bahasa berfungsi sebagai alat untuk mengekspresikan diri, alat untuk
berkomunikasi, alat untuk integrasi atau adaptasi sosial dan alat untuk
melakukan kontrol sosial.
Pelajaran bahasa yang membebaskan manusia
dari penciptanya, maka menjadikan bahasa itu digunakan seenaknya. Hilang adab
berbahasa. Maka muncullah kemudian bahasa-bahasa atau kata-kata yang tidak
bermutu, termasuk dalam hal ini kata-kata porno, kata-kata kasar dan lain-lain.
Dan inilah yag membedakan antara Raja Ali Haji dan tokoh-tokoh ahli bahasa Islam
dengan tokoh-tokoh lainnya.
Karena itu para ulama kita betul-betul
memikirkan tentang penggunaan kata. Misalnya ketika para ahli pendidikan Islam
dulu meluncurkan kata murid. Mereka berharap bahwa anak-anak yang disebut murid
itu diharapkan mempunyai cita-cita, mempunyai kehendak menjadi lebih baik dan
seterusnya. Sebab murid berasal dari kata Arabaraada-yuriidu-muriidan. Sayangnya kini kata itu pelan-pelan dihapuskan digantikan dengan
kata siswa. Entah siapa yang memulai, tapi kemungkinan diambil dari kata Taman
Siswa Ki Hadjar Dewantoro, tokoh pendidikan Indonesia yang pernah lama belajar
di Belanda.
Begitu juga dulu para ulama memperkenalkan
bahasa Melayu/Indonesia dengan tulisan Arab Melayu atau Arab Jawi. Mereka
berharap agar masyarakat terbiasa dengan huruf Al Qur’an. Tapi pelan-pelan
huruf Arab ini pun dihapuskan, diganti dengan huruf Latin. Sehingga tidak
banyak sekarang para pelajar yang mempunyai kemampuan menulis atau membaca
huruf Arab Melayu. Padahal banyak karya ulama atau intelektual kita dulu
tertulis dalam bahasa Arab Melayu. Para pelajar pun banyak yang diputus
pelajarannya dari karya-karya ulama dulu, diganti dengan buku-buku masa kini
yang kebanyakan ’menjiplak dari pakar-pakar Barat’.
Pelajaran bahasa kini kebanyakan ’otak
atik kata dan fakta’ dan kering dari nasihat. Sulit bagi kita menemukan lagi
pakar bahasa yang nasihatnya sangat berharga dan mendalam seperti Raja Ali Haji
dalam Gurindamnya ini:
Jika hendak mengenai orang berbangsa,
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.*
lihat kepada budi dan bahasa,
Jika hendak mengenal orang yang berbahagia,
sangat memeliharakan yang sia-sia.
Jika hendak mengenal orang mulia,
lihatlah kepada kelakuan dia.
Jika hendak mengenal orang yang berilmu,
bertanya dan belajar tiadalah jemu.
Jika hendak mengenal orang yang berakal,
di dalam dunia mengambil bekal.
Jika hendak mengenal orang yang baik perangai,
lihat pada ketika bercampur dengan orang ramai.*
(lihat juga Majalah Hidayatullah,Oktober
2012).
0 comments:
Post a Comment